Di Balik Frekuensi (atau ketika media dipolitisasi)

Minggu lalu saat saya berada di Bali, sedang asyik rebahan di kasur hotel yang empuk, ponsel saya berdering memberitahukan bahwa saya memiliki satu email baru. Sebuah email kiriman dari Komunitas Salihara yang berbunyi:


Di Balik Frekuensi @ Komunitas Salihara

Survei Edelman Trust Barometer 2012 menunjukkan rata-rata tingkat kepercayaan masyarakat terhadap informasi majalah, koran, televisi, dan media online sekitar 42-43 persen. Survei ini menegaskan infromasi media punya peran besar terhadap sikap masyarakat yang mempercayainya. Bagaimana jika informasi media-media tersebut dikendalikan oleh kepentingan perusahaan media? Siapa yang dirugikan? Bagaimana pula sikap jurnalis mengenai soal ini? Bagaimana seharusnya media bekerja?

Film feature-dokumenter Di Balik Frekuensi produksi Gambar Bergerak secara khusus mengungkapkan konglomerasi media televisi setelah era Soeharto. Film ini melukiskan bagaimana para konglomerat media menjadikan saluran-saluran berita itu demi kepentingan politik dan bisnis mereka semata; cenderung memalsukan realitas ketimbang mencerahkan masyarakat. Padahal jelas-jelas mereka menggunakan frekuensi publik sebagai sarana siar.

Membaca perkenalan seperti itu, tentu membuat saya penasaran dengan kisah ini. Jujur saja, sejak dulu saya tertarik dengan dunia jurnalistik, dan walaupun saya cenderung suka pada media cetak, tidak saya pungkiri bahwa nowadays media elektronik mempunyai pengaruh yang lebih besar than the printed ones; thus, hari ini saya mencoba hadir dan memenuhi rasa penasaran saya, walaupun belum terdaftar sebagai peserta, but lucky me bisa daftar on-the-spot.


Pemutaran Film ‘Di Balik Frekuensi’ di Teater Salihara, Selasa 23/04/13

Lantas, apa yang ada di balik sebuah frekuensi? Pesan apa yang ingin disampaikan oleh Ucu Agustin sebagai sutradara? Continue reading “Di Balik Frekuensi (atau ketika media dipolitisasi)”